Selasa, 10 November 2009

PRANATA SOSIAL DALAM ISLAM

PENDAHULUAN

Pranata sosial adalah norma-norma yang mengatur kehidupan sekelompok manusia atau disebut masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disni adalah sekelompok orang yang saling berhubungan yang berpusat pada berbagai aktifitas guna memenuhi kebutuhan hajat hidup manusia secara kompleks, dengan kata lain pranata sosial disini adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di masyarakat. Kemudian, permasalahannya yang akan dibahas nanti adalah, mengapa manusia perlu lembaga-lembaga tersebut. ? Ini membuktikan, bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang memerlukan bantuan orang lain, walaupun ia sendiri dilahirkan sendirian tetapi ketika berinteraksi dengan lingkungan ia memerlukan banyak orang untuk saling mengenal bekerjasama dan saling tolong menolong.
Hal ini telah digariskan oleh Allah SWT dalam Surah al-Hujurat ayat 13:
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kemudian firman Allah SWT yang lain:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram , jangan (mengganggu) binatang-binatang had-nya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”


Jadi banyaknya, populasi manusia sehingga membentuk kelompok masyarakat semuanya itu Allah ciptakan tentu memiliki tujuan dan manfaat. Diantara tujuan dan manfaat tersebut adalah untuk saling mengenal bekerjasama, saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, agar nilai-nilai taqwa dan kebaikan terwujud maka Tuhan menurunkan wahyu-Nya sebagai perangkat hokum yang harus dipatuhi oleh umat-Nya.
Oleh karena, manusia itu selalu berinteraksi satu dengan yang lainya Maka terjadilah perubahan social. Perubahan tersebut disebabkan perubahan fungsi dan perilaku manusia dari keadaan tertentu kepada keadaan lain. Contoh tentang perubahan social inilah adalah semakin majunya pendidikan, maka semakin kuat arus perubahan sosial. Kemudian, timbulnya kebudayaan dan penemuan baru
Agar perubahan tersebut terjadi sesuai dengan nilai-nilai kebaikan dan taqwa sesuai dengan wahyu Allah maka, empat belas abad yang lalu Rasulullah telah mengajarkan pada kita khususnya Umat Islam, bahwa Islam mengajarkan pada kita untuk bersilaturrahmi diantara sesama muslim sebab dengan bersilaturrahmi tercipta sikap toleransi yang tercermin dengan ibadah haji yang berpusat di Mekkah dan sholat berjama'ah yang berpusat di mesjid-mesjid.
Sebagaimana Sabda Nabi.
حدّثناعبداللة بن يسف قال أخبرنامالك عن نافع عن عبد اللة بن عمر انّ رسول اللة صلى اللة عليه و سلم قال صلاة الفذ بسبع و عشرين درجة.
Artinya: “ Telah menceritakan pada saya Abdullah ibn Yusuf, beliau berkata telah menceritakan pada kami dari malik, dari nafi’ dari Abdullah ibn Umar Bahwasanya Rasulullah SAW berkata: Shalat berjama’ah lebih utama dari shalat sendirian dengan perbandingan dua puluh tujuh derajat.
Sholat berjama’ah, secara langsung atau tidak langsung mengajarkan pada kita nilai-nilai filosofi dari ibadah formal tersebut sebagai pusat pertemuan Umat Islam agar tercipta kekuatan dan persaudaraan dalam membangun masyarakat Islam yang harmonis aman dan bersahabat baik dengan agama lain, terlebih lagi sesama muslim. Kemudian, untuk mencegah terjadi kesenjangan antara yang miskin dan kaya RasulullahSAW melalui Wahyu-Nya mewajibkan kita membayar zakat fitrah bagi yang mampu dan zakat harta (maal) bagi yang kaya untuk diberikan pada orang yang memerlukannya. Dahulu Nabi Muhammad SAW membentuk penggurus zakat pada masa itu yang dikenal dengan 'amil zakat, begitu juga dengan perlindungan dan pemeliharan anak-anak yatim menjadi prioritas utama Syari'at Islam. Inilah sebenarnya wujud pranata sosial yang dibentuk oleh Rasululluh SAW pada masyarakat muslim terdahulu. Sebelum Orang Barat mengenal konsep pranata sosial sebagaimana yang kita pahami sekarang, sebab sebelumnya mereka hanya mengenal “Hukum Rimba” artinya siapa yang kuat menindas yang lemah yang disponsori oleh Penjajah Belanda terhadap Indonesia, termasuk pada perang dunia pertama dan kedua. Pada masa itu, wajar saja jika suatu bangsa yang kuat menjajah bangsa lain yang lemah sebab bagi mereka siapa yang kuat menguasai yang lemah.
Secara khusus, konsep tentang pranata sosial dalam perspektif Islam membuat seorang cendikiawan muslim Ibnu Khaldun menyatakan bahwa manusia adalah mahkluk sosial yaitu:
a) Manusia adalah mahluk yang bermasyarakat (hayawan al-ijtima'i).
b) Dengan memperhatikan gejala sosialnya, masyarakat dibagi menjadi dua kategori: masyarakat primitif dan masyarakat modern.
c) Dalam masyarakat, manusia dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor lingkungan geografis.

Ibnu khaldun menyatakan manusia adalah mahluk yang bermasyarakat hayawan al-ijtima'i artinya manusia memerlukan bantuan orang lain mulai dari kelompok masyarakat terkecil sampai keluarga dan komunitas terbesar skala wilayah. Naluri untuk hidup bersama manusia melahirkan suatu lembaga tertentu yang diikat dengan kaidah-kaidah hukum berupa aturan yang dibuat oleh manusia sebagai wadah aspirasinya, sedangkan kaidah-kaidah hukum yang diatur oleh Wahyu Allah SWT kepada manusia hubungan sesamanya, hubungan dengan alam dan dengan Tuhannya adalah aturan bersifat mutlak yang harus dipatuhi umatnya agar terwujud kemaslahatan. Oleh sebab itu, manusia selain mahluk sosial ia juga mahluk yang berketuhanan (akan dibahas pada materi berikutnya).
Ibnu khaldun menyatakan manusia adalah mahluk yang bermasyarakat hayawan al-ijtima'i artinya manusia memerlukan bantuan orang lain mulai dari kelompok masyarakat terkecil sampai keluarga dan komunitas terbesar skala wilayah. Naluri untuk hidup bersama manusia melahirkan suatu lembaga tertentu yang diikat dengan kaidah-kaidah hukum berupa aturan yang dibuat oleh manusia sebagai wadah aspirasinya, sedangkan kaidah-kaidah hukum yang diatur oleh Wahyu Allah SWT kepada manusia hubungan sesamanya, hubungan dengan alam dan dengan Tuhannya adalah aturan bersifat mutlak yang harus dipatuhi umatnya agar terwujud kemaslahatan. Oleh sebab itu, manusia selain mahluk sosial ia juga mahluk yang berketuhanan (akan dibahas pada materi berikutnya). pengaruh dari luar dan pemakaian teknologi, ciri khas masyarakat ini adalah: Pertama, terdapat banyak pekerjaan tidak hanya terikat mayoritas satu bidang pekerjaan, kemudian setiap pekerjaan tersebut beroreantasi keuntungan. Kedua, masuknya berbagai teknologi canggih, termasuk teknologi komunikasi tidak langsung berupa telpon, internet, televisi dan lain sebagainya. Ketiga, berkembangnya industrisasi berupa pabrik-pabrik yang menghasilkan berbagai produk barang agar tercukupi hajat hidup masyarakat tersebut dan mobilisasi masa dimana setiap individu berusaha untuk terus menerus meningkat karir dan profesionalisme agar dapat mempertahankan eksistensi dirinya. Keempat, gaya kepemimpinan bersifat formal dan profesional dengan berpola pikir rasional, analisis selalu bersikap inovatif.
Sedangkan, masyarakat primitf adalah kelompok sosial (masyarakat) memiliki pola hidup tertumpu pada adat istiadat, dan lingkungan menjadikan alam sebagai sarana mistik yang dianggap sebagai sumber penolong dan kebahagian. ciri kusus masyarakat ini ialah sangat tertutup dari pengaruh luar.
Untuk inilah, ajaran Islam sangat menekankan pada umatnya agar tidak menjadi masyarakat yang primitif (jumud) tetapi sebaliknya, maka wajar saja pada beberapa Hadits Nabi SAW dan Wahyu Tuhan agar selalu menyuruh umatnya untuk maju, berpikir dan berahlak mulia, sebab intelektual yang dijiwai dengan ke-imanan akan melahirkan masyarakat madani dan beradap.

PEMBAHASAN
PRANATA SOSIAL DALAM AJARAN ISLAM
1. Pengertian.
Pranata Sosial adalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas yaitu norma-norma yang mengaturan kehidupan sosial masyarakat. Jadi, pranata sosial dalam ajaran Islam adalah nilai-nilai yang mengaturan kehidupan sosial Masyarakat Muslim berdasarkan syari'at Islam. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada masa dahulu untuk diimplementasikan masa sekarang.

2. Faktor-faktor Pranata Sosial dalam Islam
Berikut ini, ada beberapa faktor pranata sosial dalam Ajaran Islam dilihat dari berbagai aspek diantaranya:

a. Pranata Agama
Dalam Islam al-Qur’an dan hadits adalah sumber hukum yang harus dipatuhi dan serta harus adil dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan wahyu Allah sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat
Islam sangat menekakan aspek spritual keagamaan dimana Wahyu Tuhan sebagai pedoman hidup Umat Islam, agar Islam yang kita pahami sekarang tidaklah sama seperti zaman dahulu, karena adanya perubahan zaman dan waktu.
Oleh sebab itu, pintu ijtihad tetap selalu terbuka dengan berdasarkan moralitas dan fitrah kemanusiaan sehingga eksistensi Ajaran Islam berkembang dengan baik, maka Islam dapat bertahan hingga kini. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
اذاحكم الحاكم فاجتهدثمّ اصاب فلـه اجران واذا حكم فاجتهد ثمّ اخطأ فله اجر
Artinya: Jika seorang hakim berijtihad memutuskan suatu perkara maka baginya ada dua pahala dan apabila ijtihadnya salah maka baginya mendapatkan satu pahala”.
Terbentuklah lembaga ke-Islaman seperti Majlis Ulama' Indonesia (MUI) sebagai wahana bagi Umat Islam untuk meminta kejelasan hukum terhadap suatu permasalahan. Pengadilan Agama Islam sebagai wahana untuk menyelesai berbagai macam perkara hukum bagi Umat Islam baik menyangkut masalah perkawinan, perceraian, wakaf dan lain sebagainya (baca: Kompilasi Hukum Islam Indonesia).
Hubungan Agama Islam dengan agama-agama lainnya di Indonesia harmonis sebab nilai-nilai moralita yang ditanamkan dalam Islam adalah kerukunan antar umat beragama sebagaimana yang termuat dalam nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Terdapat beberapa alasan terciptanya kerukunan umat ber-agama di Indonesia ini, yaitu: Pertama, aspek sejarah, berdasarkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia mengalami rasa senasib dan seperjungan, yaitu sama-sama sebagai anak jajahan penajajah dan kaum imprealis. Kemudian berjuang bersama-sama membebaskan diri dari belenggu penjajah, akhirnya berkat karuna Tuhan Yang Maha Esa kita dapat menang dan mengusir penjajah di bumi nusantara. Maka sudah sepantasnya kita untuk saling rukun antar umat beragama. Kedua, aspek sosiologi, bahwa Masyarakat Indonesia mendiami wilayah kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diikat oleh semboyan “Bhineka Tunggal Ika” artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu Bangsa Indonesia. Ketiga, aspek hukum yaitu, di Indonesia hanya diakui beberapa agama; Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Thiongha yang diikat oleh Pancasila dan UUD 1945 tentang kerukunan antar umat beragama.
Selanjutnya, menurut Tajul Arifin menyatakan bahwa antara agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha serta aliran kepercayaan lain Khong hu Chu) dan masyarakat dalam perkembangannya saling mempengaruhi sehingga terjadi interaksi yang dinamis di Indonesia. Contoh, Bangsa Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim maka budaya yang terjadi pada masyarakat ini bernuansa Islam sehingga banyak terdapat bangunan mesjid, Bank Syari`ah dan tempat-tempat pengajian' arsitektur Islam, banyak terdapat gerakan dakwah secara langsung dan tidak langsung termasuk pengaturan tata aturan kehidupan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan fatwa MUI.
Oleh sebab itulah, Islam menyuruh umatnya untuk mengajak Umat Islaam dan umat lainnya untuk kembali kejalan kabaikan dengan hikmah tapi bukan dengan cara kekerasan, sebagimana firman Allah SWT:

Artinya: “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (ayat 126) Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Jadi, nilai-nilai luhur dari dakwah Islam adalah mengajak orang berbuat baik bahkan menjalankan menjalankan syari’at Islam secara hikmah dan bijaksana tetapi tidak dengan kekerasan salah satu cara dengan cara hikmah tersebut adalah membangun lembaga-lembaga ke-Islaman dan toleransi terhadap sesama agama yang lainnya sebagimana yan telah diuraikan diatas.

b. Aspek Pranata Ekonomi Islam.
Kegiatan perekonomian bagi masyarakat modern biasanya banyak terjadi dikota terfokus pada sektor industri dan jasa. Kenyataan ini terlihat pada tingkat keahlian dan profesionalisme pekerjaan mereka seperti dokter, pilot, dosen, bisnismen, direktur lain sebagainya.
Dalam Islam faktor ekonomi merupakan hal sangat penting dalam membangun kesejahteraan Umat Islam. Salah satu buktinya adalah eksistensi Bank Syari`ah dan mu`amalat di Indonesia. Keberadaan sudah teruji dan terbukti ketika ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi maka bank ini tetap bertahan, sebab prinsip yang ditanamkan adalah bagi hasil dan tidak ada yang dirugikan malah sebaliknya sama-sama untung.
Ide yang dibangun dari bank syari’ah adalah bebas dari riba, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah al-Baqarah ayat 275

Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila . Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (ayat 276). Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”

Ayat ini memberikan pelajaran pada kita bahwa Islam memperhatikan konsp ekonomin yang mengajarkan pada kita untuk berlaku jujur dan tidak merugikan orang lain sehingga dengan kejujuran tersebut dapat menghilangkan dari praktek riba dan monopoli, maka nikmat yang dirasakan oleh semua orang.
Hal ini, merupakan hasil percerminan konsep syari'ah yang telah dicontohkan dan dibuktikan sendiri oleh Muhammad SAW melalui konsep kerjasama mukhabarah dan muzara`ah, walaupun pada masa itu belum ada bank sebagaimana yang kita pahami sekarang. Dalam perdangangan Islam mengharamkan riba, rentenir dan lain sebaginya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari peran wahyu dan pengalaman Rasul itu sendiri tentang ekonomi; Pertama, proses awal sebelum resmi menjadi Rasul dan khalifah, dahulu mental dan pengalaman ekonomi dibina. Beliau menjadi seorang pedagang yang sukses dibantu oleh Maisarah dengan berkerjasama dengan Siti Khatijah. Kedua, Rasulullah SAW menjadikan Ka'bah di Makkah selain tempat beribadah menjadikan disekeliling Masjid Haram tersebut sebagai pusat perdagangan perekonomian Umat Islam pada masa itu, Maka dengan sendirinya daerah dikitarnya menjadi kota sebagai pusat perdagangan dan jasa sehingga masyarakat Islam hidupnya makmur seperti Abubakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Siti Khatijah dan para sahabat lainnya. Wajar saja terdapat pernyataan Nabi Muhammad SAW mengecam orang yang miskin itu dekat pada kekafiran. Maksudnya, terkadang kemiskinan dapat menyebabkan orang berbuat nekad mencuri, berdusta, berbuat jahat bahkan murtad.

c. Aspek Pranata Keluarga dalam Islam.
Firman Allah SWT QS: al-Baqarah ayat 221-222

Artinya: “ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Ayat ini mengajarkan pada kita bahwa faktor keimanan seseorang sebagai hal yang paling utama dalam membina rumah tangga sebab keimanan dapat mengjaga keharmonisasian rumah tangga, jika rumah tangga tersebut harmonis maka akan membentuk kehidupan sosial suatu masyarakat juga menjadi harmonis.
Akan tetapi sebaliknya, keadaan sosial yang terjadi pada masa sekarang pada masyarakat modern dirasakan kurang ikatan kekeluargaan mulai dari lingkungan keluarga sampai masyarakat mulai melemah sebab dominasi sikap individu dan kesibukan kerja untuk mengejar karir dan harta. Inilah yang terjadi pada mayoritas Masyarakat Indonesia sekarang. Padahal sebaliknya, Islam mengajarkan pada kita untuk mempererat ikatan kekerabatan sebagai prioritas utama, mulai dari rumah tangga sampai tetangga. Rasulullah SAW menyatakan bahwa “Rumahku adalah Surgaku dan saling menghormati tetangganya” artinya adalah kaum muslim wajib menjaga keutuhan rumah tangga dan berbuat baik pada tetangganya. Dalam Ajaran Islam sebelum orang mendirika rumah tangga terlebih dahulu ia harus mentaati syarat, rukun dan berbagai aturan ketika hendak menikah seperti, harus ada wali nikah, calon mempelai, bukti berupa akta nikah dari Kantor Urusan Agama Islam dan ketika hendak nikah calon mempelai harus dilakukan dengan rasa kasih sayang dalam mencapai rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah. Adapun tujuan dari ikatan nikah diatas merupakan kesempurnaan ajaran dalam menjaga keutuhan dan pranata rumah tangga, menjaga keserasian dengan tetangga.
Untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan syari’at Islam, maka pemerintah membentuk lembaga hukum yang mengatur urusan kekeluargaan dalam Islam yang dikenal dengan Ahwalus Syakhsiah ( (احوال الشخشية melalui pengadilan agama. Diantaranya memuat tentang:
• Hukum Perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang 1974 No. 1 tentang Perkawinan dan kemudian disempurnakan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Membahas tentang pernkahan, perceraian, talak, ruju’, mut’ah dan lain sebagainya.
• Hukum tentang pelaksanaan wakaf dan pembuatan taacara pembuatan akta wakaf diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).
• Hukum tentang waris
• Pengaturan tentang zakat, dan lain sebaginya.

d. Pranata Pendidikan dalam Islam.
Surah al-Mujadalah ayat: 11
Artinya: “ Hai, orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Islam sangat menjunjung tinggi orang yang berilmu pengetahuan yang diikuti keimanan yang mantap, tentu saja untuk memperoleh pengetahuan tersebut perlu belajar. Maka dengan sendirinya belajar itu menjadi wajib hukumnya. Begitu juga dengan kehidupan sekarang bahwa posisi orang yang berilmu dan berbuat baik mempunyai kesempatan medduki posisi yang mulya.
Bagi kehidupan masyarakat modern memandang penting masalah pendidikan untuk masa depannya. Asumsi yang muncul adalah semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar peluang ia mendapatkan pekerjaan dan mencapai karir. Islam mengajarakan hal yang sama pada kita. Rasulullah SAW berpesan “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai tiang lahat” atau dalam Teori Ilmu Pendidikan terdapat istilah long live education maksudnya adalah pendidikan sepanjang masa. Oleh sebab itu, adanya dilembaga-lembaga Pendidikan Islam berupa Pondok Pasantren, sekolah Islam, dan yayasan Islam lainnya merupakan wujud pranata sosial umat Islam dalam bidang pendidikan.
Semakin maju tingkat pendidikan disuatu daerah, maka sangat mempengaruhi terjadinya perubahan sosial, diantara beberapa sebabnya adalah: Timbulnya kebudayaan dan penemuan baru yang terdiri dari; a) Meningkatnya kualitas para ahli dalam suatu kebudayaan. b) Meningkatnya kreatifitas daya cipta sebagai perangsang kemajuan dalam masyarakat. c) Munculnya kesadaran masyarakat akan kekurangannya dalam kebudayaan.
Contoh, Dahulu pada tahun 1950-an Negara Malaysia banyak mengambil tenaga pendidik dari Indonesia terutama pada Ilmu Pendidikan Agama Islam untuk mengajari Masyarakat Malaysia agar cerdas. Akan tetapi kenyataan sekarang sudah terbalik, mereka sudah berhasil belajar dari guru-guru yang mereka impor dari Indonesia sehingga sekarang banyak dari berbagai negara belajar di Malaysia termasuk dari warga Indonesia dengan perguruan tingginya yang terkenal Universitas Malaya yang berstandar Internasional. Pengaruhnya adalah dengan semakin maju pendidikan mereka menyebabkan Malaysia sedikit lebih maju dari Indonesia terutama dari aspek ekonomi, buktinya selain aspek pendidikan banyak Tenaga Kerja Indonesia bekerja di Malaysia, tidak ada jumlah pengangguran di sana dan aspek teknologi.

e. Pranata Politik dalam Islam.
Firman Allah SWT dalam QS: an-Nisa ayat 58-59
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (٥٨)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(ayat 59) Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ayat ini memerintahkan kita khususnya pada penguasa untuk menjaga dan menyampaikan amanah yang diberikan Allah untuk semua manusia yang kemudian bagi umat Islam diwajibkan untk mentaati penguasa selama itu penguasa tersebut menjalankan amanah Allah. Oleh sebab itu konsep politik yang dibangun dalam Islam tidak sepenuhnya demokrasi dan tidak juga sepenuhnya absolute murni tetapi mengutamakan musyawarah sebagai upaya membangkitkan semangat kebersamaan untuk mencapai kesepakatan, sehingga tidak yang merasa dirugikan dan terabaikan.
Bagi masyarakat modern pranata sosial politik ditandai dengan semakin berkembangnya kesadaran berpolitik, partisipasi aktif rakyat dalam mensukseskan pemilu eksekutif dan legislatif sehingga politik mampu menciptakan situasi ketertiban dan keamanan. Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya, tercipta situasi yang rusuh dan konflik karena kepentingan politik atau sentimen politik sebagimana yang telah terjadi pada beberapa Wilayah Indonesia, rusuh sebab pemilihan kepala daerah di Maluku, Manado dan lain-lain. Maka ini menunjukkan Masyarakat Indonesia belum siap sepenuhnya menghadapi perkembangan politik Indonesia yang salah sebabnya lemahnya sistem keamanan dan kesadaran masyarakat. Sikap emosinal dan tidak siap berbeda pendapat dari para tokoh politik juga menjadi salah satu faktor penyebab kelemahan politik Indonesia sehingga dengan ini dapat kita katakan bahwa Masyarakat Indonesia belum modern dibidang sosial politik.
Untuk ini perlu kiranya kita bercermin kepada Rasulullah SAW empat belas abad yang lalu, beliau membangun Masyarakat Muslim di Makkah dan Madinah berdasarkan prinsip musyawarah mufakat dan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab, maka tipelogi yang dilakukannya dalam memimpim Umat Islam terpusat pada keteladanan sikap pribadi beliau. Nabi Muhammad SAW berperan ganda sebagai tokoh agama dan kepala pemerintahan. Selama kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ketika beliau menyelesaikan permasalahan yang bernuansa agama/ibadah maka banyak keputusan yang dibuatnya dibantu oleh Wahyu Tuhan, bahkan terkadang beliau sendiri menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dalam memeberikan suatu jawaban atas pertanyaan sahabat. Ketika beliau menyelesaikan permasalahan yang bernuansa sosial politik maka beliau mengutamakan musyawarah mufakat yang banyak dibantu oleh sahabat-sahabatnya. tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu termasuk pada kaum wanita bahkan orang kafir sekalipun, justru Rasulullah SAW sebaliknya berusaha menghilangkan diskriminasi sebagaimana yang telah terbangun jauh sebelumnya oleh Arab Jahiliyah dimana kaum wanita dianggap kaum yang lemah bahkan merusak sehingga banyak bayi wanita dibunuh, bagi Masyarakat Arab dahulu juga sudah terbangun sistem kasta (bany) antara kasta yang terhormat dan kasta budak
Hukum yang berlaku adalah syari'at Islam, akan tetapi Rasul tidak pernah menunjukkan sikap tentang Negara Islam di Makkah dan Madinah. Jadi salah kaprah jika sebagian orang Islam bersikeras membentuk negara Islam Indonesia, yang perlu untuk diperjuangkan adalah penegakan kembali piagam Jakarta yang mana salah satu isinya adalah kewajiban orang Islam menjalankan Syari'at Islam di Indonesia.
Contoh, ketika Rakyat Aceh menuntut merdeka dan mendirikan Negara Islam, walaupun hal ini gagal mereka lakukan, mereka hanya mendapatkan hak istimewa untuk menjalankan Hukum Islam. Ternyata dalam praktekknya dilakukan terlalu over dosisi sehingga Syari'at Islam berlaku juga untuk orang non Islam Aceh sehingga yang terjadi adalah didaerah-daerah tertentu yang minoritas muslim (Irian Jaya dan Maluku) Orang Islam ditekan dan tidak boleh mendakwahkan Islam secara bebas dan terbuka. Maka situasi sosial politik seperti ini sangat berpotensi menjadi bom waktu bagi masyarakat Indonesia terjadi perang suku dan agama. Oleh sebab itu harus segera dicegah, salah satu caranya adalah perlu adanya gerakan moral yang lebih kuat untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama dan perlu adanya kekuatan militer.

3. Aspek-Aspek lain yang terkait dengan Pranata sosial
Adapun aspek lain yang terkait dengan pranata sosial adalah:
a. Manusia sebagai Mahkluk Ketuhanan
Manusia secara psikologis juga sebagai mahluk berketuhanan, sadar atau tidak percaya yang digerakkan hati nurani selalu tidak puas dengan kebenaran yang ia miliki dan selalu mencari-mencari kebenaran dibsebalik kebenaran yang ia terima dan akhir dari pencarian kebenaran tersebut itulah ia membutuhkan kebenaran yang mutak yaitu kebenaran yang bersumber dari Tuhan.
Bahwasanya Tuhan itu sukar dibuktikan secara empiris ekperimental akan bagi mereka yang belum mengakui adanya Tuhan, tetapi bukan berarti Tuhan itu tidak ada, bagi mereka yang belum sadar dari segi kemanusian mereka sebagai mahluk yang percaya pada akan Tuhan. Oleh sebab itu secara umum manusia memerlukan Tuhan.
Islam merupakan agama yang mempercayai kebenaran dan ke-agungan Tuhan yaitu Allah SWT, maka dengan sendirinya pranata yang dibanggun dalam masyarakat muslim hanya terdapat dalam konsep nilai-nilai etika, dan ketuhanan yaitu yang mulia disisi Tuhannya adalah bagi mereka yang bertaqwa, tapi bukan pada orang kaya, pejabat dan lain sebagainya. Sehingga pranata sosial yang terbangun adalah sistem pemerintah demokrasi dalam persepsi Islam menggutamakan musyawarah mufakat dan saling menghargai perbedaaan pendapat yang dibimbing Syari'at Islam. Bagi kehidupan masyarakatnya selalu mengedepankan kebersamaan dan persaudaraan sebagaimana yang terdpat dalam konsep ibadah sholat, haji dan puasa sebagaimana yang telah dibahas diatas.

b. Kelompok Sosial dan Lembaga Kemasyarakatan
Manusia walaupun pada hakekatnya dilahirkan sendirian, akan tetapi ia mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain yang dinamakan gregariousness. Ketika terjadi hubungan interaksi sosial antara sesama manusia, maka ada akibat dari reaksi yang ditimbulkannya. Reaksi tersebut menyebabkan terjadinya berbagai tindakan disebabkan keinginan dan kepentingan menjadi satu kesatuan dengan manusia lain disekelilingnya. Keinginan dan kepentingan tersebut dinamakan kelompok-kelompok sosial sebagaimana yang telah dibahas diatas. Oleh karena, adanya hubungan timbal balik ini yang saling mempengaruhi dan suatu kesadaran untuk saling tolong menolong agar terciptanya sistem yang sempurna sebagai akibat terjadinya hubungan yang timbal balik. Kelompok sosial ini ada dua yaitu formal dan non formal. Kelompok formal meliputi guru, karyawan dan pegawai Negeri atau swasta, sedangkan kelompok non formal adalah perkumpulan orang-orang tanpa diikat oleh status yang ia miliki, terjadi apa adanya di lingkungan rumah tangga, pasar dan lain sebaginya. Adapun kelompok sosial mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
• Setiap warga kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok lain yang saling bersangkutan.
• Ada hubungan timbal balik antara warga yang satu dengan yang lain.
• Terdapat faktor atau beberapa faktor yang dimiliki bersama oleh setiap warga kelompok masyarakat, sehingga menimbulkan hubungan sangat erat, faktor tadi merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan, ideologi, politik dan lain-lain.
• Ada struktur dalam masyarakat
• Ada perangkat kaidah
• menghasilkan sistem tertentu
Kemudian, dari kelompok ini melahirkan lembaga kemasyarakatan seperti koperasi, perindustrian, remaja mesjid, Baitulmal watanzil dalam bidang pendidikan seperti taman kanak-kanak, pasantren, sekolah, kursus dan lain sebagainya. Jadi, lembaga kemasyarakatan tersebut hadir karena setiap individu mempunyai kebutuhan pokok, jika dikelompokkan maka terhimpun menjadi lembaga-lembaga kemasyarakatan dipelbagai bidang kehidupan. Fungsi lembaga-lembaga ini adalah:
• Untuk memberikan pedoman kepada warga masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan pokok.
• Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
• Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengadilan sosial (sosial control)

KESIMPULAN
Pranata sosial adalah tata nilai mengatur kehidupan masyarakat. Masyarakat yang dimaksudkan adalah sekelompok orang yang saling berkomunikasi terfokus pada berbagai aktifitas guna memenuhi kebutuhan hajat hidup manusia secara menyeluruh. Atau pranata sosial yang kami maksudkan disini adalah lembaga yang terdapat dimasyarakat. Adapun pranata sosial dalam Islam adalah berupa tata nilai-nilai yang mengaturan kehidupan sosial Masyarakat Muslim berdasarkan Syari'at Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW untuk terapkan pada masa sekarang.
Berikut ini, ada beberapa faktor pranata sosial dalam Ajaran Islam dilihat dari berbagai aspek diantaranya
a) Pranata dibidang Agama
b) Pranata dibidang Ekonomi Islam
c) Pranata keluarga yang Islamiyah
d) Pranata pendidikan dalam Islam
e) Pranata politik dalam Islam
Kemudian, dari pranata tersebut terbentuk struktur sosial yaitu memperhatikan berbagai aspek kehidupan manusia, mulai tingkat sosial dan dinamika masyarakat diantara keseluruhan jalinan unsur sosial, kaidah sosial, lembaga sosila dan kelompok sosial. Dinamika masyarakat sebagai proses perubahan sosial itu sendiri. Proses sosial sebagai timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama terutama dalam hal interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan orang perorangan maupun antar kelompok manusia.
Selain itu, manusia secara psikologis juga sebagai mahluk berketuhanan, sadar atau tidak percaya bahwa manusia selalu mencari kebenaran dibsebalik kebenaran yang ia terima dan akhir dari pencarian kebenaran tersebut itulah ia membutuhkan kebenaran yang mutak yaitu kebenaran yang bersumber dari Tuhan.
Setiap manusia membentuk kelompok sosial, reaksi tersebut menyebabkan terjadinya berbagai tindakan disebabkan keinginan dan kepentingan menjadi satu kesatuan dengan manusia lain disekelilingnya. Kelompok sosial tersebut terdiri dari dua yaitu kelompok sosial formal dan non formal, formal adalah kelompok sosial yang diikat oleh aturan-aturan yang telah ada sebelumnya yang kemudian menjadi landasan hukum dalam menentukan kebijakan. Sedangkan kelompok sosial non formal adalah kelompok sosial yang tidak terikat oleh aturan-aturan yang telah ada tetapi hanya berbentuk kesepakatan bersama yang kemudian menjadi landasan hukum dalam menentukan kebijakan.
Kemudian, terjadinya perubahan sosial disebabkan beberapa fakrot yaitu: terjadi konflik, perpindahan penduduk dan majunya ilmu penetahuan, dari ketiga faktor ini maka majunya ilmu pengetahuan memiliki pengaruh sangat besar perubahan yang positip suatu daerah sebagimana yang diungkapkan Randall Colins dalam sebuah kesimpulan dari tulisannya tentang peran ilmu pengetahuan sebagai sosial kontrol perubahan, bahwa sosial kontrol dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu perubahan sistem dimana informasi memberikan manfaat yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sehingga mengajak setiap individu berpikir kreatif sebagaimana tujuan mulya dari nilai-nilai ilmu pengetahuan itu sendiri. Adapun oreantasi dari para ilmuan disini adaah mengaharapkan penemuan dan pemikirannya dapat diterima dan diakui orang lain sebagai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan tetapi bukanlah fanatik ilmu pengetahuan yang dapat menyebebkan orang tidak fleksibel dalam berpikir.

REFERENSI

Abdul Syauni (Cetakan ke 3). 2007 Sosiologi Sistematika,Teori dan Terapan. Jakarta. PT. Bumi Aksara.

Collins, Randall (1985) Three Sociological tradition. New York. Oxford University Press.

Khaldun, Ibnu. 1958. Muqaddimah. dalam Tajul Arifin (2008) Tesis-Tesis dalam Teori Sosiologi Klasik dan Kontemporer.Bandung. Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

Tajul Arifin (2008) Tesis-Tesis dalam Teori Sosiologi Klasik dan Kontemporer.Bandung. Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

W.A. Gerungan Psikologi (1986 ) Sosial. Bandung. PT. Eresco.

… Al-Qur’an dan Terjemah.

… Kitaabut Tis’ah

TAFSIR

BAB I
PENDAHULUAN

Empat belas abad yang lalu, Allah telah mengutus seorang Nabi dan bersamaan dinobatkan sebagai Rasul Allah yang bernama Muhammad. Diturunkannya oleh Allah kepada manusia yang disampaikan Muhammad merupakan mukzijat terbesar bagi Nabi dan Umat Islam sebab dengan hadirnya wahyu Tuhan Bangsa Arab pada masa itu mengalami kemajuan peradapan dan moral, sebab setiap wahyu Tuhan yang turun disampaikan dengan baik oleh Rasulullah, maka pada sekarang dipergunakanlah hadits dan sunah nabi sebagai tafsir al-Qur'an.
Akan tetapi, sejarah juga mencatat setelah habis masa Nabi dan para sahabat Islam mengalami kemunduran dengan ditandainya kekalahan umat Islam pada perang salib di Irak (Baghdad) semua ilmu pengetahuan diambil alih oleh Bangsa Eropah dan ilmu-ilmu Islam dibumi hanguskan, maka pada masa ini pintu ijtihad tertutup rapat dan muncullah kelompok sufisme yang jumud, fanatik mazhab. Potensi-potensi inilah melahirkan konflik internal Umat Islam setelah pintu ijtihad terbuka lebar seiring dengan berkembangnya Ilmu Tafsir.
Setelah Umat Islam mengalami kejenuhan kemunduran maka muncullah gerakan untuk membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya oleh Gerakan Wahabi, M. Ali pasya, Jamaludin Al-Afghan dan lain-lain dahulu. Gerakan ini ternyata sangat berpengaruh bagi perkembangan Islam di Indonesia sehingga sudah tidak disangkal lagi ketika kita berbicara ijtihad maka semua orang akan menyatakan ya, kita perlu ijtihad. Akan tetapi, mengapa dalam tubuh Umat Islam sering terjadi konflik mazhab dan pendapat yang pada gilirannya berakhir anarkis. siapa yang bersalah ?, Apakah ajaranya, ulama'nya atau tatacara berijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat wahyu yang belum sempurna.
Absolutisasi pandangan tentang Islam memang selalu menjadi titik rawan lahirnya perseteruan. Islam salafiyah maupun penganut Islam "murni" lainnya, sepanjang selalu menganggap dirinya paling Islami sambil menganggap pihak lain tidak Islami, maka pada saat itulah ruang untuk kenisbian paham dan toleransi menjadi menyempit. Selalu ada rujukan teologis untuk bertengkar keras memperebutkan tafsir Islam, melahirkan perbedaan paham dan pandangan. Manakala perbedaan tafsir itu bersenyawa dengan urusan politik, maka wilayah perselisihan menjadi kian keras. Politik dan agama bahkan menjadi sarat ambisi untuk memenangkan wilayah kekuasaan, baik kekuasaan diniyah maupun dakwah sekaligus dunyaawiyah.
Dalam konteks gerakan salafiyah, fenomena konflik keagamaan tersebut juga menampilkan genre baru kaum salafi yang radar teologis dan ideologisnya begitu sensitif untuk saling menegasikan dan bertikai paham dengan keras. Ketika kaum salafi maupun sesama kelompok Islam lain saling berebut tafsir keagamaan dengan harga mati, maka seringkali wilayah perseteruan berbuntut rumit. Paham agama yang serba doktrinal dan absolut, ditambah ambisi-ambisi kekuasaan duniawi dan fanatisme hizbiyah yang tinggi, kemudian bersenyawa dengan situasi krisis dan marjinal yang serba menekan, akan melahirkan konflik paham dan kepentingan agama yang keras. Sementara ruang dialog yang disediakan pun bukan wahana cair untuk berwacana, melainkan masuk ke wilayah pertempuran saling memenangkan tafsir, sambil melibatkan massa masing-masing.
Oleh sebab itulah, perlu adanya kedewasaan dalam menguasai tafsir dan segala bentuk ilmu pendukung lainnya, sebab jika seorang munfasir tidak menguasai ilmu tafsir maka akan berakibat fatal, walaupun dengan dalih ijtihad (yang akan dibahas pada bab 2).
Fakta menunjukkan, bagaimana seorang Amrozi, azhari, Nurdin top kelompok-kelompoknya menghacurkan tempat tertentu yang bernuangsa maksiat serta komunitas yahudi dan nasrani dengan dalih jihad suci (syari'at Islam sebagi rujukan mereka), akan tetapi disebalik ulah perbuatan mereka terkesan dimata dunia Islam identik dengan “perang” dan “kekerasan” sedangkan wajah Islam yang disampaikan Rasulullah adalah rahmatan lil'alamin.
Tampilnya, kelompok yang beraliran radikal dan fanatik mazhab tradisional Islam dengan sangat mudah dan sederhana mengkleam kafir, subhat, murtad dan munafik kepada komunitas muslim lainnya jika tidak mengikuti pendapatnya. Hal ini tampak tatkala terjadinya benturan antara budaya lokal dengan penafsiran ayat al-Qur'an dan Hadits yang mereka terima apa adanya. Contoh kasus dalam masalah khilafiyah, Khilafah Imamah, mazhab dan lain sebaginya.
Betapa besar perjungan Rakyat Aceh melaksankan syari'at Islam dinegeri sendiri. Ini memang bagus, tetapi wal hasil pada kenyataan dipraktekan secara over ekting, akibatnya pada daerah-daerah tertentu di bumi nusantara ini yang penduduk muslimnya minoritas tidak boleh melaksanakan syari'at Islam secara terbuka dan bebas seperti papua, maluku dan daerah lainnya.
Salah satu, solusi yang kami ditawarkan dalam permasalahn diatas adalah perlunya kemampuan intelektuan dan kedewasaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW sebagimana yang telah disepakati secara ijma'i oleh para ulama' seperti penguasaan bahasa Arab, mengerti metodelogi serta sistematikan tafsir (tahlili, maudhu'i, ijma'i dan muqaran dan lain-lain), dan yang lebih penting dari itu semua adalah munfasir wajib menguasai asbabul nuzul dan asbul wurud mikro dan makro serta bertaqwa pada Allah SWT. Bagaimanapun juga kepribadian seorang munfasir sangat berperan penting dalam menghasilkan karya tafsirnya, untuk dipergunakan bagi umat Islam, jika tafsir tersebut banyak dipengaruhi oleh emosinya tentu hasil tafsirnya juga bernuansa dokrin emosianl, maka hal inilah yang harus dihilangkan. Jika ini sudah terlaksana maka kedewasaan dan keterbukaan dalam kemajemukan ber-Islam serta toleransi juga harmonisasi umat beragama dapat terwujud.

BAB 2
HAKEKAT TAFSIR

1. Defenisi Tafsir
Tafsir dari segi bahasa memiliki beberapa pengertian: Pertama, kata tafsir bermakna “menjelaskan” sesuatu yang sebelum diungkapkan maka perlu adanya keterangan lebih lanjut. Kedua, tafsir bermakna “keterangan” artinya adalah perluasan dari suatu ungkapan yang memerlukan pengembangan makna tadi yang masih bersifat umum. Sedangkan ketiga, arti tafsir secara bahasa adalah berupa alat kedokteran khusus untuk mendeteksi suatu penyakit terhadap pasien, akan tetapi dalam konteks kata tafsir hubungan dengan al-Qur'an adalah mengeluarkan makna-makna dari suatu ungkapan yang tersimpan dalam lafadz yang terdapat dalam al-Qur'an.3 Lebih ringkas lagi, tafsir bisa diterjemahkan “interplestasi”4 maksudnya adalah mengupas makna yang terkandung dalam ayat dan atau lafazh al-Qur,an itu agar dapat dipahami oleh umat Islam yang dibarengi dengan ilmu lainnya berupa sosialogi, kultur masyarakat arab pada saat asbabul nuzul ayat dan lain sebaginya.
Sedangkan, Tafsir secara etimologi adalah sebagimana yang diungkapkan M. Hussen Az-Zahab adalah tafsir merupakan seperangkat ilmu yang dipergunakan untuk memperjelas maksud dan penguraian suatu lafazh terhadap beberapa pengertian ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian yang dimakasud dengan ilmu (dalam ilmu tafsir) disini adalah seluruh ilmu yang menopang kearah terungkapnya bayan kalam Allah sehingga dapat diambil mafhumnya.5
Maka berdasarkan pengertian tafsir diatas dilihat dari aspek kebahasaan dan pemahaman menunjukan bahwa tafsir adalah salah satu ilmu pengetahuan sebagai metode yang dipergunakan dalam mengungkap makna kalam Allah baik yang tersurat atau tersirat sehingga nantinya al-Qur'an dapat dipahami oleh umat Islam secara baik dan benar agar syari'at Islam tetap relevan sesuai dengan perputaran waktu sepanjang zaman.
Tafsir berdasarkan pendapat para munfassirin adalah:
 Menurut Syekh Thahir al-Jazairy menyatakan: “Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan (maksud) yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan (uraian) yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.”
 Menurut rumusan az-Zarkasyi tafsir adalah: artinya: “Tafsir ialah ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepaada Nabi Muhammad SAW, menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada didalamnya.”6
 Menurut 'Ali al-Shabuniy, tafsir adalah “keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna al-Qur'an sebagai wahyu Allah.”7

Jadi, ternyata para munfasirun sudah berbeda pendapat dalam menguraikan pengertian tafsir itu sendiri, Imam Thahir al-Jazairy dalam uraian diatas beliau menitik beratkan memahami tafsir itu dalam rumusan lafazh ayat-ayat al-Qur'an yang sulit dipahami tetapi tidak dalam per-kalimat atau satu ide cerita. Begitu juga dengan apa yang telah sering dilakukan oleh Quraisy Shibah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sehingga beliau telah menerbitkan buku tafsir yang terkenal yaitu kitab al-Misbah yang mana didalamnya banyak mentafsirkan ayat al-Qur'an dengan menggunakan per-lafadz dalam menguraikan makna yang tersimpan dalam ayat al-Qur'an. Sedangkan pendapat kedua Imam az-Zarkasyi cendrung memaknai tafsir tersebut pada sejumlah ayat al-Qur'an yang mengandung unsur-unsur ilmu, hukum dan hikmah yang masih tersembunyi maknanya. Oleh sebab itu dari kedua pendapat diatas dapat kita pahami bahwa tafsir tidak hanya terbatas perluasan makna ayat pada setiap lafazh saja melainkan perkalimat bahkan per-ide cerita dalam isi kandungan al-Qur'an bisa ditafsirkan maknanya jika kita rasakan masih belum jelas.
Tentunya, tidak semua orang boleh mentafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, tetapi bukan berarti pintu ijtihad telah tertutup melainkan dikhawatirkan akan terjadinya penafsiran bebas tanpa diikat oleh nilai-nilai ilahiyah sehingga konsep wahyu memandu ilmu tidak akan terwujud, tentu saja akibatnya sangat fatal sebab jika terjadi kesalahan dalam tafsir dan dianggap benar oleh sekelompok masyarakat muslim maka akhirnya akan melahirkan dokrin mazhab dengan dalil bid'ah, kafir, munafiq dan kurafat maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kesenjangan sosial dalam internal umat Islam seperti pengkleman “fasiq” oleh kelompok hizbut tahrir terhadap orang Islam yang tidak ikut bai'at sebagai kepatuhan terhadap imamnya. Betapa seorang Amrozi dan teman-temanya membom salah satu hotel mewah di Bali tahun 2002 dengan dalih memerangi orang kafir, jihad suci sebagi akibat dokrin tafsir mazhab tanpa melihat kondisi sosiol masyakat Muslim Indonesia dengan cara membabi buta sehingga mencoret citra Umat Islam dunia yang identik dengan “kekerasa” dan “perang”.
Untuk itulah, M. Quraish Shihab, mengingatkan agar jangan sampai terjadi kesalahan dalam menafsirkan ayat al-Qur'an tentunya akan berakibat fatal dalam skala makro Umat Islam, lebih lanjut, beliau menyatakan perlu adanya komponen-komponen khusus harus dilakukan oleh para munfasirun dalam menafsirkan ayat al-Qur'an, yaitu: Perlu adanya ketentuan komponen dalam menafsirkan al-Qur'an yang terdiri dari sistematika penafsiran dan aturan-aturan khusus untuk memahami al-Qur'an seperti tentang kebahasaan dan lain-lain.8
Oleh sebab itu, dalam menafsirkan al-Qur'an seorang munfasir diwajibkan menguasai berbagai disiplin ilmu seperti ilmu Bahasa Arab sebab al-Qur'an itu sendiri Berbahasa Arab yang sarat dengan keunikan dan keistimewaan maknanya baik yang tersurat maupun tersirat dalam isi kandungan ayat, kemudian ia juga harus menguasai ilmu sosialogi, maksudnya adalah mengetahui tentang kultur Masyarakat Arab pada saat wahyu itu diturunkan (asbabul nuzul mikro dan makro) kemudian dikombinasikan dengan kultur psikologi Masyarakat Muslim sekarang sehingga pesan moral yang terkandung dalam nilai-nilai al-Qur'an dapat menyentuh dilubuk sanubari manusia.
Contoh, Tafsir al-Qur'an tentang keharaman tentang khamar sebagaimana dalam Surah al-Baqarah ayat 219 yang artinya:
Mereka tertanya kepadamu tentang khamar dan judi katakanlah: “Pada keduanya itu tetap dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kduanya lebih besaar dari manfaatnya. “Dan mereka bertanya (juga) kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.9
Ayat ini turun dirangkai pada ayat sebelumnya berkenaan tentang mencari nafkah dengan jalan yang baik, sebab kebiasaan Orang Arab Jahiliyah sering minum sambil berjudi, sehingga ayat ini diawali dengan sebuah pertanyaan “ Mereka tertanya kepadamu tentang khamar dan judi “.
Yang dimaksud dengan khamr disini adalah segala sesuatu yang memabukkan apapun bentuknya. Minuman jenis apa yang beredar untuk masa kini selama ini berpotensi menimbulkan kemabukan maka ia dikategorikan khamr.
Arti kata Maysir adalah judi. Ia terambil dari akar kata yang berarti gampang/mudah. Perjudian disebut maysir sebab harta dari hasul perjudian sangat gampang atau mudah didapat tidak perlu berusaha cukup dengan undian yang dibayang-banyangi keuntungan. Sehingga Nabi diperintahkan Allah untuk menjawab pertanyan tersebut dalam ayat diatas: katakanlah: “Pada keduanya itu tetap dosa besar,” seperti hilangnya keseimbangan tubuh (mabuk), penipuan dan kebohongan lainnya.10
Jadi apapun bentuknya dalam ayat ini Tuhan sudah memberikan teguran agak keras dengan mengajak Orang Islam berpikir, bahwa apapun bentuknya setiap bahan makanan dan minuman yang mengandung dapat merusakan kesehatan dikategorikan khamr seperti bir, narkoba, ektasi termasuk formalin yang disisipkan pada bahan makanan dan lain sebaginya, sedangkan maysir artinya judi adalah segala jenis permainan atau bentuk kuis yang mengandung unsur-unsuk mengudi nasib dengan dibayangi keuntungan besar dengan cara mudah.
2. Takwil
Takwil berasal dari bahasa Arab, secara harfiah takwil memiliki banyak makna, bisa bermakna “membalikan” maksud adalah membalikkan makna dari suatu lafazd pada proporsinya, takwil juga bisa bermakan “memalingkan” yaitu memalingkan makna pada suatu lafazh tertentu yang memiliki sifat tertentu secara khusus dari makna dari makna dhahirnya kemakna batin lafadzh tersebut.
Pada umumnya, sasaran takwil ini menyangkut pada ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat mutasyabihat atau yang memiliki kemungkinan sejumlah makna yang dikandungnya.

3. Terjamah
Kata “terjemah” secara harfiah dalam Bahasa Arab memiliki berbagai kemungkinan maknanya tergantung dari sisi mana ia diucapkan sehingga terjemah itu sendiri disini memiliki beberapa pengertian, yaitu:
 Menyampaikan pembicaran kepada orang yang belum pernah menerimanya. Contoh menyebarkan atau menyampaikan ajaran yang terkandung dalam Kitab al-Qur'an kepada orang lain yang belum pernah menerimanya, maka ia dianggap sebagai kategori menterjemahkan ajaran al-Qur'an.
 Menjelaskan kalamullah dengan menggunakan bahasa kalamullah itu sendiri. Jadi penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan Bahasa al-Qur'an (arab) juga termasuk kategori menterjemahkan al-Qur'an.
 Menafsirkan kalam dengan menggunakan bahasa selain bahasa kalam itu sendiri. Jadi, menafsirkan dan, atau menjelaskan al-Qur'an kedalam berbagai bahasa masih termasuk kategori menterjemahkan al-Qur'an.
 Alih bahasa.11
Berdasarkan beberapa pengertian diatas bahwa terjemah secara khusus juga mengandung makna “penjelasan”, akan tetapi penggunaan istilah “terjemah” yang biasanya dipergunakan oleh masyarakat Muslim Indonesia adalah alih bahasa artinya mengungkapkan suatu makna yang terkandung dalam suatu lafazd bahasa atau kalimat agar sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh bahasa aslinya atau oleh pembuatnya. Begitu juga dengan menterjemahkan al-Qur'an, dimana si penterjemah harus berusaha memahami setip teks atau kalimat-kalimat pada ayat al-Qur'an tersebut kedalam bahasa lain, harus benar-benar sesuai dengan maksud yang diinginkan dan, atau paling tidak mendekati dengan makna yang diinginkan dari bahasa aslinya (Bahasa Arab al-Qur'an),
Contoh, terjadinya kessalahan dalam menterjemahkan Bahasa al-Qur'an (Bahasa Arab) kedalam Bahasa Indonesia yang tidak baik dan kita bandingkan dengan terjemahan versi lainnya, sebagimana yang tercantum dalam firman Allah SWT dalam Surah al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
artinya: “ Dan dirikanlah sholat, Tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”12
Kemudian masih dalam Surah al-Baqarah ayat 43, menurut terjemahan versi lain.
artinya: “ Laksankanlah sholat (dengan sempurna) dan tunaikanlah zakat serta rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”13
Pada terjemahan pertama diatas Lafadz aqîmû diterjemahkan “dirikanlah”, hal ini tidak tepat menurut M.Quraish Shihab sebab lafadz aqîmû lebih tepat diterjemahkan “laksanakanlah” bukan diterjemahkan “dirikanlah” sebab kata ini bukan diambil dari akar kata ǵama yang berarti “berdiri”, tetapi lebih tepat berasal dari kata sebab lafadz qawama, jika lafadz ini diterjemahkan “berdiri” sangat tidak tepat jika dilihat pada ayat lain yaitu: artinya: “laki-laki itu pemimpin atas wanita” jadi kata tidak diterjemahkan “laki-laki berdiri diatas wanita”.
Tentunya lafadz aqîmû maknanya adalah laksankan sholat yang disertai dengan syarat dan rukun agar tingkat kekhusu'an tercapai dengan baik, tetapi berbeda dengan lafadz ǵama memiliki makna dirikanlah, makna hanya sekedar melakukan saja tanpa harus diikuti dengan aturan-aturan tertentu alias apa adanya.
4. Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
Maksud dari perbedaan dalam pembahasan disini adalah dalam konteks spesifikasi dan sifat-sifatnya masing-masing, Walaupun pada hakekatnya para ulama' munfassirin sering berbeda pendapat dalam memaknai takwil, tafsir dan terjemah , ada yang menyatakan bahwa takwil sinonim dari tafsir sebab tujuan keduanya sama yaitu menjelaskan makna ayat al-Qur'an.14 Akan tetapi ada juga sebagian ulama' menyatakan adanya perbedaan dari keduanya yaitu:
 Tafsir berbeda dengan takwil pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus. Tafsir lebih umum dari takwil karena takwil berkenaan dengan ayat-ayat khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat. Jadi mentakwilkan ayat-ayat al-Qur'an yang mutasyabihat itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat disebut takwil.
 Bahwa tafsir adalah penjelasan lebih lanjut bagi takwil dan dalam tafsir sejauh terdapat dalil-dalil yang menguatkan penafsiran boleh dinyatakan “demikianlah yang dikehendaki oleh Allah”, sedangkan takwil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumah kemungkinan makna yang dimiliki ayat dan tidak boleh menyatakan “demikianlah yang dikehendaki Allah SWT”. Demikianlah sebagimana yang dikehendaki pendapat maturidi.
 Tafsir menerangkan makna lafadz (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan takwil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu)
 Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (ibarat), sedangkan takwil dari yang tersirat (bil isyarah).
 Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafazd yang biasa-biasa saja, sedangkan takwil berhubngan dengan makna yang kudus.
 Tafsir, mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh al-Qur'an sendiri, sedangkan takwil penjelasan maknanya diperoleh melalui istimbat (penggalian) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya.15

Sedangkan perbedaan antara tafsir dengan terjemah adalah:
 Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa pertama ke bahasa terjemahan, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata bahasa pertama itu melekat pada bahasa terjemahnya, bentuk terjemah lepas dari sama sekali dari bahasanya yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan dengan bahasa asalnya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagimana dalam lazimnya dalam terjemah. yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah adanya penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufrat (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.
 Pada terjemah sekali-kali tidak boleh melakukan pengurain secara meluas dalam mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir pada kondisi tertentu boleh melakukan penguraian makna ayat secara luas.
 Terjemah biasanya mengandung tuntuan dipenuhi semua makna yang dikehendaki dari bahasa aslinya, akan tetapi tidak demikian halnya dengan tafsir, yang menjadi konsentrasinya adalah tercapainya penjelasan yang sebaik-baiknya baik secara umum atau terperinci.
 Terjemah pada umumnya mengandung tuntutan adanya pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud sudah dialih bahasakan oleh penterjemah. Akan tetapi tidak demikian dengan tafsir masalah sangat relatif tergantung dari kredibitas munfasirnya.16
Jadi, dapat dikatakan bahwa terjemah lebih sederhana dan terikat bahasa aslinya sehinga penterjemah harus berusaha menterjemahkan bahasa asli tersebut kedalam bahasa lain agar agar sesuai dengan padanan makna dari bahasa aslinya, sedangkan tafsir tidak terikat sesuai makna perkata akan tetapi lebih luas dari itu, dengan mencari akar permasalahan sehingga dapat dijelaskan maksud pada kalamullah.

5. Urgensi Tafsir
Sebelum membahas urgensi tafsir lebih dalam, alangkah baiknya jika kita ulas sedikit akan hakekat tafsir itu sendiri, tetapi bukan berarti mengulang yang sudah diuraikan diatas dalam pengertian tafsir. Menurut Rosihan Anwar17 menyatakan bahwa terapat perbedaan khusus antara ilmu tafsir, ushulut tafsir dan ulumul qur'an. Ilmu tafsir berfungsi untuk bagaimana teknis menafsirkan al-Qur'an sedangkan ushulut tafsir sebagai produk tafsir untuk mengasilkan tafsiran ayat-ayat al-Qur'an itu sendiri sebagai Syari'at Islam, sedangkan ulumul qur'an adalah berbicara semua aspek tentang al-qur'an.
Ketika, kita membahas tafsir maka dengan sendirinya tidak terlepas melibatkan banyak aspek, apakh yang bersentuhan langsung dengan tafsir ataupun tidak. Maka pemahaman tafsir merupakan sesuatu yang sangat urgensi sebab ia sangat dekat dengan al-Qur'an, maka dengan sendirinya tafsir berkedudukan sangat penting dalam memahami teks-teks ayat al-Qur'an baik yang jelas bahkan yang tersembunyi maknanya. Oleh sebab itu, kehadiran tafsir menunjukkan dinamikan sekaligus kebangkitan Umat Islam sejauhmana mereka menjadikan al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya,
Sejarah telah mencatat, ketika Umat Islam mengalami kemunduran setelah kalah pada perang salib dimana dimana segala macam ilmu pengetahuan Islam sudah diambil Eropah dan beberapa kitab-kitab penting Islam dibumi hanguskan oleh mereka, maka tatkala itu Islam mengalami kemunduran dan sebaliknya “tasawuf dan sufisme” mengalami kemajuan sehingga umat mengalami kejumudan, maka setelah itu lahirlah gerakan wahabi dan Muhammad Abduh, bagaimana Islam itu maju, maka ide pertama yang beliau lakukan adalah membuka pintun ijtihad selebar-lebarnya, bebas dari bid'ah, khurafat dan tahayul. Terbuka lebar pintu ijtihad seiring dengan berkembangnya ilmu tafsir seperti; metode tafsir tahlili, maudhu', ijlma'i' dan muqaran.
Berkembangnya ilmu tafsir ini memberikan isyarat agar kita dapat memahami isi kandungan nilai al-Qur'an mudahan-mudahan dapat diterapkan dengan baik dan sempurna
Inilah, urgensi tafsir sebagai kata kunci dalam kerangka pemahaman dan menggali khazanah kandungan al-Qur'an, ibarat seseorang hendak masuk kerumah yang terkunci erat, tentu ia tidak akan bisa masuk tanpa adanya kunci untuk membuka pintu rumah tersebut. Dalam konteks tafsir sebagai kunci pembuka pintu ijtihad maka banyak sekali rahasia dan khazanah ilmu pengetahuan yang terkandung al-Qur'an dapat kita ketahui sehingga al-Qur'an betul-betul dapat dijadikan pedoman hidup bagi Umat Islam khususnya, tercapainya kebahagian dunia dan akhirat bagi secara individu atau masyarakat.
6. Persyaratan menjadi Munfasir
Seorang munfasir dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur'an dengan baik dan komprehensif, diperlukan syarat-syarat khusus dalam menafsirkan al-Qur'an, baik menyangkut kribilitas pribadi maupun akademis serta teknik operasional yang digunakan dalam menafsirkan ayat. Oleh sebab itu perlu langkah-langkah sebagai berikut:
 Seorang harus memiliki kepribadian yang mulia, ber-keimanan yang mantap serta ketaqwaan pada Allah SWT.
 Seorang munfasir harus mengetahui dan menguasai ilmu Bahasa Arab, sebab Bahasa Arab adalah bahasa pengantar al-Qur'an oleh karena itu, ilmu ini sangat diperlukan dalam mengkaji dan memahami hakekat al-Qur'an.
 Seorang munfasir harus mengetahui Ilmu-Ilmu al-Qur'an serta ilmu penunjang seperti Ilmu Kalam, Figh, Mantiq dan lain-lain.
 Seorang munfasir harus menempuh langkah-langkah sistematis dalam menafsirkan al-Qur,an, yaitu dengan mengetengahkan aspek asbabul nuzul, kosa kata ayat, menerangkan susunan kalimat serta aspek-aspek balaghahnya yang pada akhirnya dapat menarik kesimpulan akhir suatu hukum dan hikmah yang terkandung dalam ayat tersebut.
 Seorang munfasir dalam menafsirkan ayat al-Qur'an handaknya mengambil rujukan dari tafsir-tafsir yang mu'tabarah (qualivied) untuk dianalisa serta dikritisi dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya sehingga akhirnya didapatka hasil karya tafsir yang komperehensif.18
Adapun, keseluruhan syarat dan ketentuan tersebut diatas merupakan hal sangat penting harus dilakukan oleh seorang munfasir. Ia harus menguasai ilmu kebahasaan agar dapat memahami struktur kalimat al-Qur'an yang bernilai sastra, filosofis dan khazanah ilmu pengetahuan lainnya. Selain itu, seorang munfasir harus mengetahui ilmu sosiologi dan berbagai ilmu yang menyangkut kemasyarakatan tertutama tentang kultur Masyarakat Arab pada saat al-Qur'an diturunkan serta sebab ayat itu turun (asbabul nuzul mikro dan makro) sehingga hasil penafsiran yang diberikan sesuai dengan nilai moral Wahyu Tuhan dan dapat menyentuh keadaan sekarang.
Imam al-zarwaniy, telah dikutip dari al-zarqani menegaskan bahwa semua ketentuan dalam menafsirkan al-qur'an sebagaimana (dinyatakan diatas) adalah sebagai syarat seorang munfasir agar dapat mencapai tingkat tafsir yang tertinggi, akan tetapi jika bagi sebagian orang yang tidak memiliki keseluruhan syarat-syarat tersebut tetapi ia memiliki kemampuan dalam manafsirkan ayat al-Qur'an, maka ia dianggap munfasir ditingkat terendah, bahkan produk tafsirnya belum bisa dikatakan tafsir19
BAB 3
PENUTUP

Tafsir adalah seperangkat ilmu yang dipergunakan untuk memperjelas maksud dan penguraian suatu lafazh terhadap beberapa pengertian ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian yang dimakasud dengan ilmu (dalam ilmu tafsir) disini adalah seluruh ilmu yang menopang kearah terungkapnya bayan kalam Allah sehingga dapat diambil mafhumnya.
Takwil memiliki banyak makna, bisa bermakna “membalikan” maksud adalah membalikkan makna dari suatu lafazd pada proporsinya, takwil juga bisa bermakan “memalingkan” yaitu memalingkan makna pada suatu lafazh tertentu yang memiliki sifat tertentu secara khusus dari makna dari makna dhahirnya kemakna batin lafadzh tersebut.
Terjemah secara khusus juga mengandung makna “penjelasan”, akan tetapi penggunaan istilah “terjemah” yang biasanya dipergunakan oleh masyarakat Muslim Indonesia adalah alih bahasa artinya mengungkapkan suatu makna yang terkandung dalam suatu lafazd bahasa atau kalimat agar sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh bahasa aslinya atau oleh pembuatnya. Begitu juga dengan menterjemahkan al-Qur'an, dimana si penterjemah harus berusaha memahami setip teks atau kalimat-kalimat pada ayat al-Qur'an tersebut kedalam bahasa lain, harus benar-benar sesuai dengan maksud yang diinginkan dan, atau paling tidak mendekati dengan makna yang diinginkan dari bahasa aslinya (Bahasa Arab al-Qur'an),
Urgensi tafsir adalah kata kunci dalam kerangka pemahaman dan menggali khazanah kandungan al-Qur'an. Tafsir sebagai kunci pembuka pintu ijtihad maka banyak sekali rahasia dan khazanah ilmu pengetahuan yang terkandung al-Qur'an dapat kita ketahui sehingga al-Qur'an betul-betul dapat dijadikan pedoman hidup bagi Umat Islam khususnya, tercapainya kebahagian dunia dan akhirat bagi secara individu atau masyarakat.
Syarat dan ketentuan seorang munfasir dalam mentafsirkan al-Qur'an adalah harus menguasai ilmu kebahasaan agar dapat memahami struktur kalimat al-Qur'an yang bernilai sastra, filosofis dan khazanah ilmu lainnya. Selain itu, ia juga harus mengetahui ilmu sosiologi dan berbagai ilmu yang menyangkut kemasyarakatan tertutama tentang kultur Masyarakat Arab pada saat al-Qur'an diturunkan serta sebab ayat itu turun (asbabul nuzul mikro dan makro) dan syarat yang terpenting adalah munfasir harus benar-benar orang bertaqwa sehingga hasil penafsiran yang diberikan sesuai dengan nilai moral Wahyu Tuhan dan dapat menyentuh keadaan sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

Munawir, Ahmad Warsan dan M. Ali Hasan. (1997). Kamus Al-Munawir arab – Indonesia. Cet 14. Pustaka Progeresif. Jakarta

M. Quraish Shihab (2008). Tafsir Al-Misbah.cet-x.Kerjasama Lentera Hati dan Pustaka Ilmu Iman Amal. Jakarta

Muhammad 'Abd al-'Azhìm al-Zarqâny. (t.th). Manâhil al-'Irfâani fi 'Ulûm alqurân, Jilid I. Dârul fikr. Bairut.

Nawawi, Rifa'at dan syauqani dan M.Ali Hasan. (1988). Pengantar Ilmu Tafsir. Bulan Bintang. Jakarta.

Rachmat Syafe'i. (2006). Pengantar Ilmu Tafsir. Cet I. Pustaka Setia.Bandung

Supiana dan M. Karman. (2002). Ulumul Quran. Cet-I. Pustaka Islamika. Bandung.