Selasa, 10 November 2009

TAFSIR

BAB I
PENDAHULUAN

Empat belas abad yang lalu, Allah telah mengutus seorang Nabi dan bersamaan dinobatkan sebagai Rasul Allah yang bernama Muhammad. Diturunkannya oleh Allah kepada manusia yang disampaikan Muhammad merupakan mukzijat terbesar bagi Nabi dan Umat Islam sebab dengan hadirnya wahyu Tuhan Bangsa Arab pada masa itu mengalami kemajuan peradapan dan moral, sebab setiap wahyu Tuhan yang turun disampaikan dengan baik oleh Rasulullah, maka pada sekarang dipergunakanlah hadits dan sunah nabi sebagai tafsir al-Qur'an.
Akan tetapi, sejarah juga mencatat setelah habis masa Nabi dan para sahabat Islam mengalami kemunduran dengan ditandainya kekalahan umat Islam pada perang salib di Irak (Baghdad) semua ilmu pengetahuan diambil alih oleh Bangsa Eropah dan ilmu-ilmu Islam dibumi hanguskan, maka pada masa ini pintu ijtihad tertutup rapat dan muncullah kelompok sufisme yang jumud, fanatik mazhab. Potensi-potensi inilah melahirkan konflik internal Umat Islam setelah pintu ijtihad terbuka lebar seiring dengan berkembangnya Ilmu Tafsir.
Setelah Umat Islam mengalami kejenuhan kemunduran maka muncullah gerakan untuk membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya oleh Gerakan Wahabi, M. Ali pasya, Jamaludin Al-Afghan dan lain-lain dahulu. Gerakan ini ternyata sangat berpengaruh bagi perkembangan Islam di Indonesia sehingga sudah tidak disangkal lagi ketika kita berbicara ijtihad maka semua orang akan menyatakan ya, kita perlu ijtihad. Akan tetapi, mengapa dalam tubuh Umat Islam sering terjadi konflik mazhab dan pendapat yang pada gilirannya berakhir anarkis. siapa yang bersalah ?, Apakah ajaranya, ulama'nya atau tatacara berijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat wahyu yang belum sempurna.
Absolutisasi pandangan tentang Islam memang selalu menjadi titik rawan lahirnya perseteruan. Islam salafiyah maupun penganut Islam "murni" lainnya, sepanjang selalu menganggap dirinya paling Islami sambil menganggap pihak lain tidak Islami, maka pada saat itulah ruang untuk kenisbian paham dan toleransi menjadi menyempit. Selalu ada rujukan teologis untuk bertengkar keras memperebutkan tafsir Islam, melahirkan perbedaan paham dan pandangan. Manakala perbedaan tafsir itu bersenyawa dengan urusan politik, maka wilayah perselisihan menjadi kian keras. Politik dan agama bahkan menjadi sarat ambisi untuk memenangkan wilayah kekuasaan, baik kekuasaan diniyah maupun dakwah sekaligus dunyaawiyah.
Dalam konteks gerakan salafiyah, fenomena konflik keagamaan tersebut juga menampilkan genre baru kaum salafi yang radar teologis dan ideologisnya begitu sensitif untuk saling menegasikan dan bertikai paham dengan keras. Ketika kaum salafi maupun sesama kelompok Islam lain saling berebut tafsir keagamaan dengan harga mati, maka seringkali wilayah perseteruan berbuntut rumit. Paham agama yang serba doktrinal dan absolut, ditambah ambisi-ambisi kekuasaan duniawi dan fanatisme hizbiyah yang tinggi, kemudian bersenyawa dengan situasi krisis dan marjinal yang serba menekan, akan melahirkan konflik paham dan kepentingan agama yang keras. Sementara ruang dialog yang disediakan pun bukan wahana cair untuk berwacana, melainkan masuk ke wilayah pertempuran saling memenangkan tafsir, sambil melibatkan massa masing-masing.
Oleh sebab itulah, perlu adanya kedewasaan dalam menguasai tafsir dan segala bentuk ilmu pendukung lainnya, sebab jika seorang munfasir tidak menguasai ilmu tafsir maka akan berakibat fatal, walaupun dengan dalih ijtihad (yang akan dibahas pada bab 2).
Fakta menunjukkan, bagaimana seorang Amrozi, azhari, Nurdin top kelompok-kelompoknya menghacurkan tempat tertentu yang bernuangsa maksiat serta komunitas yahudi dan nasrani dengan dalih jihad suci (syari'at Islam sebagi rujukan mereka), akan tetapi disebalik ulah perbuatan mereka terkesan dimata dunia Islam identik dengan “perang” dan “kekerasan” sedangkan wajah Islam yang disampaikan Rasulullah adalah rahmatan lil'alamin.
Tampilnya, kelompok yang beraliran radikal dan fanatik mazhab tradisional Islam dengan sangat mudah dan sederhana mengkleam kafir, subhat, murtad dan munafik kepada komunitas muslim lainnya jika tidak mengikuti pendapatnya. Hal ini tampak tatkala terjadinya benturan antara budaya lokal dengan penafsiran ayat al-Qur'an dan Hadits yang mereka terima apa adanya. Contoh kasus dalam masalah khilafiyah, Khilafah Imamah, mazhab dan lain sebaginya.
Betapa besar perjungan Rakyat Aceh melaksankan syari'at Islam dinegeri sendiri. Ini memang bagus, tetapi wal hasil pada kenyataan dipraktekan secara over ekting, akibatnya pada daerah-daerah tertentu di bumi nusantara ini yang penduduk muslimnya minoritas tidak boleh melaksanakan syari'at Islam secara terbuka dan bebas seperti papua, maluku dan daerah lainnya.
Salah satu, solusi yang kami ditawarkan dalam permasalahn diatas adalah perlunya kemampuan intelektuan dan kedewasaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW sebagimana yang telah disepakati secara ijma'i oleh para ulama' seperti penguasaan bahasa Arab, mengerti metodelogi serta sistematikan tafsir (tahlili, maudhu'i, ijma'i dan muqaran dan lain-lain), dan yang lebih penting dari itu semua adalah munfasir wajib menguasai asbabul nuzul dan asbul wurud mikro dan makro serta bertaqwa pada Allah SWT. Bagaimanapun juga kepribadian seorang munfasir sangat berperan penting dalam menghasilkan karya tafsirnya, untuk dipergunakan bagi umat Islam, jika tafsir tersebut banyak dipengaruhi oleh emosinya tentu hasil tafsirnya juga bernuansa dokrin emosianl, maka hal inilah yang harus dihilangkan. Jika ini sudah terlaksana maka kedewasaan dan keterbukaan dalam kemajemukan ber-Islam serta toleransi juga harmonisasi umat beragama dapat terwujud.

BAB 2
HAKEKAT TAFSIR

1. Defenisi Tafsir
Tafsir dari segi bahasa memiliki beberapa pengertian: Pertama, kata tafsir bermakna “menjelaskan” sesuatu yang sebelum diungkapkan maka perlu adanya keterangan lebih lanjut. Kedua, tafsir bermakna “keterangan” artinya adalah perluasan dari suatu ungkapan yang memerlukan pengembangan makna tadi yang masih bersifat umum. Sedangkan ketiga, arti tafsir secara bahasa adalah berupa alat kedokteran khusus untuk mendeteksi suatu penyakit terhadap pasien, akan tetapi dalam konteks kata tafsir hubungan dengan al-Qur'an adalah mengeluarkan makna-makna dari suatu ungkapan yang tersimpan dalam lafadz yang terdapat dalam al-Qur'an.3 Lebih ringkas lagi, tafsir bisa diterjemahkan “interplestasi”4 maksudnya adalah mengupas makna yang terkandung dalam ayat dan atau lafazh al-Qur,an itu agar dapat dipahami oleh umat Islam yang dibarengi dengan ilmu lainnya berupa sosialogi, kultur masyarakat arab pada saat asbabul nuzul ayat dan lain sebaginya.
Sedangkan, Tafsir secara etimologi adalah sebagimana yang diungkapkan M. Hussen Az-Zahab adalah tafsir merupakan seperangkat ilmu yang dipergunakan untuk memperjelas maksud dan penguraian suatu lafazh terhadap beberapa pengertian ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian yang dimakasud dengan ilmu (dalam ilmu tafsir) disini adalah seluruh ilmu yang menopang kearah terungkapnya bayan kalam Allah sehingga dapat diambil mafhumnya.5
Maka berdasarkan pengertian tafsir diatas dilihat dari aspek kebahasaan dan pemahaman menunjukan bahwa tafsir adalah salah satu ilmu pengetahuan sebagai metode yang dipergunakan dalam mengungkap makna kalam Allah baik yang tersurat atau tersirat sehingga nantinya al-Qur'an dapat dipahami oleh umat Islam secara baik dan benar agar syari'at Islam tetap relevan sesuai dengan perputaran waktu sepanjang zaman.
Tafsir berdasarkan pendapat para munfassirin adalah:
 Menurut Syekh Thahir al-Jazairy menyatakan: “Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan (maksud) yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan (uraian) yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.”
 Menurut rumusan az-Zarkasyi tafsir adalah: artinya: “Tafsir ialah ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepaada Nabi Muhammad SAW, menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada didalamnya.”6
 Menurut 'Ali al-Shabuniy, tafsir adalah “keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna al-Qur'an sebagai wahyu Allah.”7

Jadi, ternyata para munfasirun sudah berbeda pendapat dalam menguraikan pengertian tafsir itu sendiri, Imam Thahir al-Jazairy dalam uraian diatas beliau menitik beratkan memahami tafsir itu dalam rumusan lafazh ayat-ayat al-Qur'an yang sulit dipahami tetapi tidak dalam per-kalimat atau satu ide cerita. Begitu juga dengan apa yang telah sering dilakukan oleh Quraisy Shibah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sehingga beliau telah menerbitkan buku tafsir yang terkenal yaitu kitab al-Misbah yang mana didalamnya banyak mentafsirkan ayat al-Qur'an dengan menggunakan per-lafadz dalam menguraikan makna yang tersimpan dalam ayat al-Qur'an. Sedangkan pendapat kedua Imam az-Zarkasyi cendrung memaknai tafsir tersebut pada sejumlah ayat al-Qur'an yang mengandung unsur-unsur ilmu, hukum dan hikmah yang masih tersembunyi maknanya. Oleh sebab itu dari kedua pendapat diatas dapat kita pahami bahwa tafsir tidak hanya terbatas perluasan makna ayat pada setiap lafazh saja melainkan perkalimat bahkan per-ide cerita dalam isi kandungan al-Qur'an bisa ditafsirkan maknanya jika kita rasakan masih belum jelas.
Tentunya, tidak semua orang boleh mentafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, tetapi bukan berarti pintu ijtihad telah tertutup melainkan dikhawatirkan akan terjadinya penafsiran bebas tanpa diikat oleh nilai-nilai ilahiyah sehingga konsep wahyu memandu ilmu tidak akan terwujud, tentu saja akibatnya sangat fatal sebab jika terjadi kesalahan dalam tafsir dan dianggap benar oleh sekelompok masyarakat muslim maka akhirnya akan melahirkan dokrin mazhab dengan dalil bid'ah, kafir, munafiq dan kurafat maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kesenjangan sosial dalam internal umat Islam seperti pengkleman “fasiq” oleh kelompok hizbut tahrir terhadap orang Islam yang tidak ikut bai'at sebagai kepatuhan terhadap imamnya. Betapa seorang Amrozi dan teman-temanya membom salah satu hotel mewah di Bali tahun 2002 dengan dalih memerangi orang kafir, jihad suci sebagi akibat dokrin tafsir mazhab tanpa melihat kondisi sosiol masyakat Muslim Indonesia dengan cara membabi buta sehingga mencoret citra Umat Islam dunia yang identik dengan “kekerasa” dan “perang”.
Untuk itulah, M. Quraish Shihab, mengingatkan agar jangan sampai terjadi kesalahan dalam menafsirkan ayat al-Qur'an tentunya akan berakibat fatal dalam skala makro Umat Islam, lebih lanjut, beliau menyatakan perlu adanya komponen-komponen khusus harus dilakukan oleh para munfasirun dalam menafsirkan ayat al-Qur'an, yaitu: Perlu adanya ketentuan komponen dalam menafsirkan al-Qur'an yang terdiri dari sistematika penafsiran dan aturan-aturan khusus untuk memahami al-Qur'an seperti tentang kebahasaan dan lain-lain.8
Oleh sebab itu, dalam menafsirkan al-Qur'an seorang munfasir diwajibkan menguasai berbagai disiplin ilmu seperti ilmu Bahasa Arab sebab al-Qur'an itu sendiri Berbahasa Arab yang sarat dengan keunikan dan keistimewaan maknanya baik yang tersurat maupun tersirat dalam isi kandungan ayat, kemudian ia juga harus menguasai ilmu sosialogi, maksudnya adalah mengetahui tentang kultur Masyarakat Arab pada saat wahyu itu diturunkan (asbabul nuzul mikro dan makro) kemudian dikombinasikan dengan kultur psikologi Masyarakat Muslim sekarang sehingga pesan moral yang terkandung dalam nilai-nilai al-Qur'an dapat menyentuh dilubuk sanubari manusia.
Contoh, Tafsir al-Qur'an tentang keharaman tentang khamar sebagaimana dalam Surah al-Baqarah ayat 219 yang artinya:
Mereka tertanya kepadamu tentang khamar dan judi katakanlah: “Pada keduanya itu tetap dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kduanya lebih besaar dari manfaatnya. “Dan mereka bertanya (juga) kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.9
Ayat ini turun dirangkai pada ayat sebelumnya berkenaan tentang mencari nafkah dengan jalan yang baik, sebab kebiasaan Orang Arab Jahiliyah sering minum sambil berjudi, sehingga ayat ini diawali dengan sebuah pertanyaan “ Mereka tertanya kepadamu tentang khamar dan judi “.
Yang dimaksud dengan khamr disini adalah segala sesuatu yang memabukkan apapun bentuknya. Minuman jenis apa yang beredar untuk masa kini selama ini berpotensi menimbulkan kemabukan maka ia dikategorikan khamr.
Arti kata Maysir adalah judi. Ia terambil dari akar kata yang berarti gampang/mudah. Perjudian disebut maysir sebab harta dari hasul perjudian sangat gampang atau mudah didapat tidak perlu berusaha cukup dengan undian yang dibayang-banyangi keuntungan. Sehingga Nabi diperintahkan Allah untuk menjawab pertanyan tersebut dalam ayat diatas: katakanlah: “Pada keduanya itu tetap dosa besar,” seperti hilangnya keseimbangan tubuh (mabuk), penipuan dan kebohongan lainnya.10
Jadi apapun bentuknya dalam ayat ini Tuhan sudah memberikan teguran agak keras dengan mengajak Orang Islam berpikir, bahwa apapun bentuknya setiap bahan makanan dan minuman yang mengandung dapat merusakan kesehatan dikategorikan khamr seperti bir, narkoba, ektasi termasuk formalin yang disisipkan pada bahan makanan dan lain sebaginya, sedangkan maysir artinya judi adalah segala jenis permainan atau bentuk kuis yang mengandung unsur-unsuk mengudi nasib dengan dibayangi keuntungan besar dengan cara mudah.
2. Takwil
Takwil berasal dari bahasa Arab, secara harfiah takwil memiliki banyak makna, bisa bermakna “membalikan” maksud adalah membalikkan makna dari suatu lafazd pada proporsinya, takwil juga bisa bermakan “memalingkan” yaitu memalingkan makna pada suatu lafazh tertentu yang memiliki sifat tertentu secara khusus dari makna dari makna dhahirnya kemakna batin lafadzh tersebut.
Pada umumnya, sasaran takwil ini menyangkut pada ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat mutasyabihat atau yang memiliki kemungkinan sejumlah makna yang dikandungnya.

3. Terjamah
Kata “terjemah” secara harfiah dalam Bahasa Arab memiliki berbagai kemungkinan maknanya tergantung dari sisi mana ia diucapkan sehingga terjemah itu sendiri disini memiliki beberapa pengertian, yaitu:
 Menyampaikan pembicaran kepada orang yang belum pernah menerimanya. Contoh menyebarkan atau menyampaikan ajaran yang terkandung dalam Kitab al-Qur'an kepada orang lain yang belum pernah menerimanya, maka ia dianggap sebagai kategori menterjemahkan ajaran al-Qur'an.
 Menjelaskan kalamullah dengan menggunakan bahasa kalamullah itu sendiri. Jadi penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan Bahasa al-Qur'an (arab) juga termasuk kategori menterjemahkan al-Qur'an.
 Menafsirkan kalam dengan menggunakan bahasa selain bahasa kalam itu sendiri. Jadi, menafsirkan dan, atau menjelaskan al-Qur'an kedalam berbagai bahasa masih termasuk kategori menterjemahkan al-Qur'an.
 Alih bahasa.11
Berdasarkan beberapa pengertian diatas bahwa terjemah secara khusus juga mengandung makna “penjelasan”, akan tetapi penggunaan istilah “terjemah” yang biasanya dipergunakan oleh masyarakat Muslim Indonesia adalah alih bahasa artinya mengungkapkan suatu makna yang terkandung dalam suatu lafazd bahasa atau kalimat agar sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh bahasa aslinya atau oleh pembuatnya. Begitu juga dengan menterjemahkan al-Qur'an, dimana si penterjemah harus berusaha memahami setip teks atau kalimat-kalimat pada ayat al-Qur'an tersebut kedalam bahasa lain, harus benar-benar sesuai dengan maksud yang diinginkan dan, atau paling tidak mendekati dengan makna yang diinginkan dari bahasa aslinya (Bahasa Arab al-Qur'an),
Contoh, terjadinya kessalahan dalam menterjemahkan Bahasa al-Qur'an (Bahasa Arab) kedalam Bahasa Indonesia yang tidak baik dan kita bandingkan dengan terjemahan versi lainnya, sebagimana yang tercantum dalam firman Allah SWT dalam Surah al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
artinya: “ Dan dirikanlah sholat, Tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”12
Kemudian masih dalam Surah al-Baqarah ayat 43, menurut terjemahan versi lain.
artinya: “ Laksankanlah sholat (dengan sempurna) dan tunaikanlah zakat serta rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”13
Pada terjemahan pertama diatas Lafadz aqîmû diterjemahkan “dirikanlah”, hal ini tidak tepat menurut M.Quraish Shihab sebab lafadz aqîmû lebih tepat diterjemahkan “laksanakanlah” bukan diterjemahkan “dirikanlah” sebab kata ini bukan diambil dari akar kata ǵama yang berarti “berdiri”, tetapi lebih tepat berasal dari kata sebab lafadz qawama, jika lafadz ini diterjemahkan “berdiri” sangat tidak tepat jika dilihat pada ayat lain yaitu: artinya: “laki-laki itu pemimpin atas wanita” jadi kata tidak diterjemahkan “laki-laki berdiri diatas wanita”.
Tentunya lafadz aqîmû maknanya adalah laksankan sholat yang disertai dengan syarat dan rukun agar tingkat kekhusu'an tercapai dengan baik, tetapi berbeda dengan lafadz ǵama memiliki makna dirikanlah, makna hanya sekedar melakukan saja tanpa harus diikuti dengan aturan-aturan tertentu alias apa adanya.
4. Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
Maksud dari perbedaan dalam pembahasan disini adalah dalam konteks spesifikasi dan sifat-sifatnya masing-masing, Walaupun pada hakekatnya para ulama' munfassirin sering berbeda pendapat dalam memaknai takwil, tafsir dan terjemah , ada yang menyatakan bahwa takwil sinonim dari tafsir sebab tujuan keduanya sama yaitu menjelaskan makna ayat al-Qur'an.14 Akan tetapi ada juga sebagian ulama' menyatakan adanya perbedaan dari keduanya yaitu:
 Tafsir berbeda dengan takwil pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus. Tafsir lebih umum dari takwil karena takwil berkenaan dengan ayat-ayat khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat. Jadi mentakwilkan ayat-ayat al-Qur'an yang mutasyabihat itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat disebut takwil.
 Bahwa tafsir adalah penjelasan lebih lanjut bagi takwil dan dalam tafsir sejauh terdapat dalil-dalil yang menguatkan penafsiran boleh dinyatakan “demikianlah yang dikehendaki oleh Allah”, sedangkan takwil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumah kemungkinan makna yang dimiliki ayat dan tidak boleh menyatakan “demikianlah yang dikehendaki Allah SWT”. Demikianlah sebagimana yang dikehendaki pendapat maturidi.
 Tafsir menerangkan makna lafadz (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan takwil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu)
 Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (ibarat), sedangkan takwil dari yang tersirat (bil isyarah).
 Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafazd yang biasa-biasa saja, sedangkan takwil berhubngan dengan makna yang kudus.
 Tafsir, mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh al-Qur'an sendiri, sedangkan takwil penjelasan maknanya diperoleh melalui istimbat (penggalian) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya.15

Sedangkan perbedaan antara tafsir dengan terjemah adalah:
 Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa pertama ke bahasa terjemahan, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata bahasa pertama itu melekat pada bahasa terjemahnya, bentuk terjemah lepas dari sama sekali dari bahasanya yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan dengan bahasa asalnya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagimana dalam lazimnya dalam terjemah. yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah adanya penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufrat (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.
 Pada terjemah sekali-kali tidak boleh melakukan pengurain secara meluas dalam mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir pada kondisi tertentu boleh melakukan penguraian makna ayat secara luas.
 Terjemah biasanya mengandung tuntuan dipenuhi semua makna yang dikehendaki dari bahasa aslinya, akan tetapi tidak demikian halnya dengan tafsir, yang menjadi konsentrasinya adalah tercapainya penjelasan yang sebaik-baiknya baik secara umum atau terperinci.
 Terjemah pada umumnya mengandung tuntutan adanya pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud sudah dialih bahasakan oleh penterjemah. Akan tetapi tidak demikian dengan tafsir masalah sangat relatif tergantung dari kredibitas munfasirnya.16
Jadi, dapat dikatakan bahwa terjemah lebih sederhana dan terikat bahasa aslinya sehinga penterjemah harus berusaha menterjemahkan bahasa asli tersebut kedalam bahasa lain agar agar sesuai dengan padanan makna dari bahasa aslinya, sedangkan tafsir tidak terikat sesuai makna perkata akan tetapi lebih luas dari itu, dengan mencari akar permasalahan sehingga dapat dijelaskan maksud pada kalamullah.

5. Urgensi Tafsir
Sebelum membahas urgensi tafsir lebih dalam, alangkah baiknya jika kita ulas sedikit akan hakekat tafsir itu sendiri, tetapi bukan berarti mengulang yang sudah diuraikan diatas dalam pengertian tafsir. Menurut Rosihan Anwar17 menyatakan bahwa terapat perbedaan khusus antara ilmu tafsir, ushulut tafsir dan ulumul qur'an. Ilmu tafsir berfungsi untuk bagaimana teknis menafsirkan al-Qur'an sedangkan ushulut tafsir sebagai produk tafsir untuk mengasilkan tafsiran ayat-ayat al-Qur'an itu sendiri sebagai Syari'at Islam, sedangkan ulumul qur'an adalah berbicara semua aspek tentang al-qur'an.
Ketika, kita membahas tafsir maka dengan sendirinya tidak terlepas melibatkan banyak aspek, apakh yang bersentuhan langsung dengan tafsir ataupun tidak. Maka pemahaman tafsir merupakan sesuatu yang sangat urgensi sebab ia sangat dekat dengan al-Qur'an, maka dengan sendirinya tafsir berkedudukan sangat penting dalam memahami teks-teks ayat al-Qur'an baik yang jelas bahkan yang tersembunyi maknanya. Oleh sebab itu, kehadiran tafsir menunjukkan dinamikan sekaligus kebangkitan Umat Islam sejauhmana mereka menjadikan al-Qur'an sebagai pedoman hidupnya,
Sejarah telah mencatat, ketika Umat Islam mengalami kemunduran setelah kalah pada perang salib dimana dimana segala macam ilmu pengetahuan Islam sudah diambil Eropah dan beberapa kitab-kitab penting Islam dibumi hanguskan oleh mereka, maka tatkala itu Islam mengalami kemunduran dan sebaliknya “tasawuf dan sufisme” mengalami kemajuan sehingga umat mengalami kejumudan, maka setelah itu lahirlah gerakan wahabi dan Muhammad Abduh, bagaimana Islam itu maju, maka ide pertama yang beliau lakukan adalah membuka pintun ijtihad selebar-lebarnya, bebas dari bid'ah, khurafat dan tahayul. Terbuka lebar pintu ijtihad seiring dengan berkembangnya ilmu tafsir seperti; metode tafsir tahlili, maudhu', ijlma'i' dan muqaran.
Berkembangnya ilmu tafsir ini memberikan isyarat agar kita dapat memahami isi kandungan nilai al-Qur'an mudahan-mudahan dapat diterapkan dengan baik dan sempurna
Inilah, urgensi tafsir sebagai kata kunci dalam kerangka pemahaman dan menggali khazanah kandungan al-Qur'an, ibarat seseorang hendak masuk kerumah yang terkunci erat, tentu ia tidak akan bisa masuk tanpa adanya kunci untuk membuka pintu rumah tersebut. Dalam konteks tafsir sebagai kunci pembuka pintu ijtihad maka banyak sekali rahasia dan khazanah ilmu pengetahuan yang terkandung al-Qur'an dapat kita ketahui sehingga al-Qur'an betul-betul dapat dijadikan pedoman hidup bagi Umat Islam khususnya, tercapainya kebahagian dunia dan akhirat bagi secara individu atau masyarakat.
6. Persyaratan menjadi Munfasir
Seorang munfasir dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur'an dengan baik dan komprehensif, diperlukan syarat-syarat khusus dalam menafsirkan al-Qur'an, baik menyangkut kribilitas pribadi maupun akademis serta teknik operasional yang digunakan dalam menafsirkan ayat. Oleh sebab itu perlu langkah-langkah sebagai berikut:
 Seorang harus memiliki kepribadian yang mulia, ber-keimanan yang mantap serta ketaqwaan pada Allah SWT.
 Seorang munfasir harus mengetahui dan menguasai ilmu Bahasa Arab, sebab Bahasa Arab adalah bahasa pengantar al-Qur'an oleh karena itu, ilmu ini sangat diperlukan dalam mengkaji dan memahami hakekat al-Qur'an.
 Seorang munfasir harus mengetahui Ilmu-Ilmu al-Qur'an serta ilmu penunjang seperti Ilmu Kalam, Figh, Mantiq dan lain-lain.
 Seorang munfasir harus menempuh langkah-langkah sistematis dalam menafsirkan al-Qur,an, yaitu dengan mengetengahkan aspek asbabul nuzul, kosa kata ayat, menerangkan susunan kalimat serta aspek-aspek balaghahnya yang pada akhirnya dapat menarik kesimpulan akhir suatu hukum dan hikmah yang terkandung dalam ayat tersebut.
 Seorang munfasir dalam menafsirkan ayat al-Qur'an handaknya mengambil rujukan dari tafsir-tafsir yang mu'tabarah (qualivied) untuk dianalisa serta dikritisi dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya sehingga akhirnya didapatka hasil karya tafsir yang komperehensif.18
Adapun, keseluruhan syarat dan ketentuan tersebut diatas merupakan hal sangat penting harus dilakukan oleh seorang munfasir. Ia harus menguasai ilmu kebahasaan agar dapat memahami struktur kalimat al-Qur'an yang bernilai sastra, filosofis dan khazanah ilmu pengetahuan lainnya. Selain itu, seorang munfasir harus mengetahui ilmu sosiologi dan berbagai ilmu yang menyangkut kemasyarakatan tertutama tentang kultur Masyarakat Arab pada saat al-Qur'an diturunkan serta sebab ayat itu turun (asbabul nuzul mikro dan makro) sehingga hasil penafsiran yang diberikan sesuai dengan nilai moral Wahyu Tuhan dan dapat menyentuh keadaan sekarang.
Imam al-zarwaniy, telah dikutip dari al-zarqani menegaskan bahwa semua ketentuan dalam menafsirkan al-qur'an sebagaimana (dinyatakan diatas) adalah sebagai syarat seorang munfasir agar dapat mencapai tingkat tafsir yang tertinggi, akan tetapi jika bagi sebagian orang yang tidak memiliki keseluruhan syarat-syarat tersebut tetapi ia memiliki kemampuan dalam manafsirkan ayat al-Qur'an, maka ia dianggap munfasir ditingkat terendah, bahkan produk tafsirnya belum bisa dikatakan tafsir19
BAB 3
PENUTUP

Tafsir adalah seperangkat ilmu yang dipergunakan untuk memperjelas maksud dan penguraian suatu lafazh terhadap beberapa pengertian ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian yang dimakasud dengan ilmu (dalam ilmu tafsir) disini adalah seluruh ilmu yang menopang kearah terungkapnya bayan kalam Allah sehingga dapat diambil mafhumnya.
Takwil memiliki banyak makna, bisa bermakna “membalikan” maksud adalah membalikkan makna dari suatu lafazd pada proporsinya, takwil juga bisa bermakan “memalingkan” yaitu memalingkan makna pada suatu lafazh tertentu yang memiliki sifat tertentu secara khusus dari makna dari makna dhahirnya kemakna batin lafadzh tersebut.
Terjemah secara khusus juga mengandung makna “penjelasan”, akan tetapi penggunaan istilah “terjemah” yang biasanya dipergunakan oleh masyarakat Muslim Indonesia adalah alih bahasa artinya mengungkapkan suatu makna yang terkandung dalam suatu lafazd bahasa atau kalimat agar sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh bahasa aslinya atau oleh pembuatnya. Begitu juga dengan menterjemahkan al-Qur'an, dimana si penterjemah harus berusaha memahami setip teks atau kalimat-kalimat pada ayat al-Qur'an tersebut kedalam bahasa lain, harus benar-benar sesuai dengan maksud yang diinginkan dan, atau paling tidak mendekati dengan makna yang diinginkan dari bahasa aslinya (Bahasa Arab al-Qur'an),
Urgensi tafsir adalah kata kunci dalam kerangka pemahaman dan menggali khazanah kandungan al-Qur'an. Tafsir sebagai kunci pembuka pintu ijtihad maka banyak sekali rahasia dan khazanah ilmu pengetahuan yang terkandung al-Qur'an dapat kita ketahui sehingga al-Qur'an betul-betul dapat dijadikan pedoman hidup bagi Umat Islam khususnya, tercapainya kebahagian dunia dan akhirat bagi secara individu atau masyarakat.
Syarat dan ketentuan seorang munfasir dalam mentafsirkan al-Qur'an adalah harus menguasai ilmu kebahasaan agar dapat memahami struktur kalimat al-Qur'an yang bernilai sastra, filosofis dan khazanah ilmu lainnya. Selain itu, ia juga harus mengetahui ilmu sosiologi dan berbagai ilmu yang menyangkut kemasyarakatan tertutama tentang kultur Masyarakat Arab pada saat al-Qur'an diturunkan serta sebab ayat itu turun (asbabul nuzul mikro dan makro) dan syarat yang terpenting adalah munfasir harus benar-benar orang bertaqwa sehingga hasil penafsiran yang diberikan sesuai dengan nilai moral Wahyu Tuhan dan dapat menyentuh keadaan sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

Munawir, Ahmad Warsan dan M. Ali Hasan. (1997). Kamus Al-Munawir arab – Indonesia. Cet 14. Pustaka Progeresif. Jakarta

M. Quraish Shihab (2008). Tafsir Al-Misbah.cet-x.Kerjasama Lentera Hati dan Pustaka Ilmu Iman Amal. Jakarta

Muhammad 'Abd al-'Azhìm al-Zarqâny. (t.th). Manâhil al-'Irfâani fi 'Ulûm alqurân, Jilid I. Dârul fikr. Bairut.

Nawawi, Rifa'at dan syauqani dan M.Ali Hasan. (1988). Pengantar Ilmu Tafsir. Bulan Bintang. Jakarta.

Rachmat Syafe'i. (2006). Pengantar Ilmu Tafsir. Cet I. Pustaka Setia.Bandung

Supiana dan M. Karman. (2002). Ulumul Quran. Cet-I. Pustaka Islamika. Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar